PENILAIAN KINERJA PEGAWAI, SUATU TINJAUAN

PENILAIAN KINERJA PEGAWAI, SUATU TINJAUAN

Oleh :

Agus Purwo W., MM, MA

 

Apa itu Kinerja?

Istilah kinerja menurut The Scibner Bantam English Dictionary terbitan Amerika Serikat dan Kanada (1979) yang dikutip Joko Widodo (2005:77-78) menyebutkan bahwa kinerja berasal dari akar kata to performance yang diartikan sebagai to do or carry out; execute (melakukan, menjalankan, melaksanakan), to discharge or fulfill; as a vow (memenuhi atau menjalankan kewajiban satu nazar), to portray, as a character in a play (menggambarkan suatu karakter dalam suatu permainan), to render by voice or a musical instrument (menggambarkannya dengan suara atau alat musik), to execute or complete an undertaking (melaksanakan atau menyempurnakan tanggung jawab), to act a part in a play (melaksanakan suatu kegiatan dalam suatu permainan), to perform music (memainkan/pertunjukan musik), to do what is expected of a person or machine (melakukan sesuatu yang diharapkan oleh seseorang atau mesin).  Performance oleh Lembaga Administrasi Negara RI yang dikutip Sedarmayanti (2001:50) diartikan sebagai kinerja, juga berarti prestasi kerja, pelaksanaan kerja, pencapaian kerja atau hasil kerja/unjuk kerja/penampilan kerja.   Sedangkan oleh AA. Anwar Prabu M. (2000:67) dikatakan bahwa kinerja berasal dari kata Job Performance atau  Actual Performance (prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai oleh seseorang).

AA. Anwar Prabu M. (2000:67) mendefinisikan kinerja (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Sementara Prawirosentono (1999) yang dikutip Joko Widodo (2005:78) mendefinisikan kinerja sebagai suatu hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing, dalam rangka mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum, dan sesuai dengan moral dan etika.  Sedangkan menurut Rogers (1994) yang dikutip Mahmudi (2005:6) mendefinisikan kinerja merupakan hasil kerja itu sendiri (outcomes of work), karena hasil kerja memberikan keterkaitan yang kuat terhadap tujuan-tujuan strategik organisasi, kepuasan pelanggan, dan kontribusi ekonomi.  Sementara August W. Smith dalam Sedarmayanti (2001:50) menyatakan bahwa performace atau kinerja adalah : “…output drive from processes, human or otherwise”, jadi dikatakannya bahwa kinerja merupakan hasil atau keluaran dari suatu proses.  Bambang Kusriyanto (1999:3) mengemukakan bahwa kinerja sebagai perbandingan hasil yang dicapai dengan peran serta tenaga kerja persatuan waktu. Selanjutnya Lembaga Administrasi Negara RI (1999) yang dikutip Joko Widodo (2005:79), kinerja merupakan gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, visi dan misi organisasi.

Bernadin dan Russel dalam Sianipar (2000:44) menyatakan bahwa kinerja atau prestasi kerja adalah hasil dari fungsi pekerjaan atau kegiatan tertentu selama suatu periode waktu tertentu.  Pendapat Bernadin dan Russel ini mengindikasikan bahwa kinerja merupakan hasil pengelolaan seluruh sumber daya fisik maupun non fisik pada aktifitas kerja seseorang maupun organisasi.  Soeprihanto (1998 : 17), menyatakan bahwa kinerja dapat dipahami sebagai ekspresi seluruh potensi yang dimiliki seseorang dalam mengemban tanggung jawab yang dapat dipantau dari sisi pelaksanaan pekerjaan secara keseluruhan.

Faktor yang mempengaruhi Kinerja

Joko Widodo (2005:80) menyebutkan bahwa kinerja individu sangat dipengaruhi oleh pengetahuan, kemampuan, kecakapan, dan harapan-harapan.   Sedangkan menurut Keith Davis yang ditulis kembali AA. Anwar Prabu M. (2000:67-68) menyebutkan adanya dua faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja yaitu faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation), yang dirumuskan bahwa Human Performance = Ability + Motivation; Motivation = Attitude + Situation; Ability = Knowledge + Skill.   Secara psikologis, kemampuan (ability) pegawai terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan reality (knowledge + skill).  Pegawai yang memiliki IQ diatas rata-rata (IQ 110-120) dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya dan terampil dalam mengerjakan pekerjaan sehari-hari, maka lebih mudah mencapai kinerja yang diharapkan. Oleh karena itu, pegawai perlu ditempatkan pada pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya (the right man in the right place, the right man or the right job).   Motivasi terbentuk dari sikap (attitude) seorang pegawai dalam menghadapi situasi (situation) kerja. Motivasi merupakan kondisi yang menggerakan diri pegawai yang terarah untuk mencapai tujuan organsasi atau tujuan kerja.

David C. McClelland (1997 : 25) berpendapat bahwa ada hubungan positif antara motif dengan mencapai kinerja.  Motif berprestasi adalah suatu dorongan dalam diri pegawai untuk melakukan suatu tugas dengan sebaik-baiknya agar mampu mencapai prestasi kerja (kinerja) dengan predikat terpuji.  Motif berprestasi yang perlu dimiliki oleh pegawai harus ditumbuhkan dalam diri sendiri selain dari lingkungan kerja.   Hal ini karena motif berprestasi yang ditumbuhkan dari dalam diri sendiri akan membentuk suatu kekuatan diri dan jika situasi lingkungan kerja turut menunjang maka pencapaian kinerja akan lebih mudah.

Nestrom dan Davis menyatakan bahwa terdapat hubungan yang jelas antara kinerja (performance), kemampuan (ability) dan motivasi (motivation). Bahwa peran yang dimainkan oleh perilaku organisasi dalam menciptakan hasil dari organisasi sangatlah penting.  Peran tersebut pada dasarnya terdiri dari dua faktor yaitu faktor pertama adalah kemampuan (ability), kemampuan hasil interaksi dari pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (skill) seseorang dan faktor kedua adalah motivasi (motivation), sebagai hasil interaksi dari sikap (attitude) dan keadaan kerja (situation). Interaksi antara kemampuan dengan motivasi merupakan potensi seseorang (potential human) untuk berbuat, dan potensi seseorang yang berinteraksi dengan sumber daya (resources) merupakan kinerja.

Lawler menyatakan bahwa perilaku kerja dipengaruhi oleh tidak hanya motivasi, tetapi yang lebih penting adalah kemampuan. Betapapun seseorang termotivasi untuk berkinerja tidaklah dapat tercapai secara maksimal. Wagner III dan Hollenbeck dalam Praptini (2002 : 20) menyatakan bahwa kinerja (performance) merupakan kombinasi dari faktor-faktor motivasi (motivation) dengan upaya (effort), kemampuan (ability) dan ketepatan persepsi peran (accuracy of perception).

Keadaan ini pula disebutkan oleh Stoner (1998:34) yang mengemukakan bahwa kinerja adalah fungsi motivasi, kemampuan dan persepsi peran. Motivasi merupakan kebutuhan psikologis yang mendorong menggerakkan perilaku seseorang menuju tercapainya suatu tujuan. Kemampuan adalah semua atribut non motivasional yang dimiliki individu untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Sedangkan persepsi peran adalah pemahaman peran atau pemahaman seseorang atas tugas atau perilaku yang diperlukan untuk mencapai kinerja tinggi.

Miller J.M dalam Praptini (2002:23 ) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang dapat mendukung pencapaian kinerja, yakni lingkungan kerja (environment) dan karakteristik pegawai (personal characteristic).  Unsur-unsur lingkungan kerja adalah kesesuaian peran (role match), sumber daya (resources), bimbingan (guidance) dan pelatihan (training). Sedangkan karakteristik pegawai meliputi kemampuan (ability), pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (skill) yang berarti bahwa seseorang dapat bekerja lebih baik adalah jika terdapat kemampuannya dengan tujuan organisasi saling mendukung satu sama lainnya. Namun juga tidak demikian bila tidak memiliki kemampuan untuk memadukan seluruh unsur-unsur yang ada maka juga tidak dapat berkinerja dengan baik, walaupun seluruhnya tersedia optimal. Hal ini sejalan dengan pendapat Sharle yang melihat kinerja sebagai tampilan yang mengungkapkan bagaimana hal-hal tersebut dikerjakan dan yang tidak dikerjakan, yang di dalamnya tercakup hubungan interpersonal, komunikasi, pengaruh-pengaruh, pola kerja sama dan konflik.

Sedangkan pendapat dari Walker (1995:51) bahwa kinerja dipengaruhi oleh upaya (effort) dan kemampuan (ability), bahwa perubahan yang mempengaruhi kinerja yang dapat dikontrol oleh manajemen antara lain tugas atau aktivitas yang harus diselesaikan, gaya supervisi organisasi kerja, kondisi, imbalan, waktu kerja dan sebagainya.  Dan sasaran kinerja yang dikaitkan dengan sasaran organisasi semuanya memberikan efek langsung pada tingkat usaha individu dalam melaksanakan tugas dan jabatannya.  Apabila seseorang bekerja tanpa didukung keterampilan, kemampuan dan pengetahuan hal-hal tersebut, maka tidak akan menghasilkan kinerja yang baik.

Apa itu Penilaian Kinerja Pegawai

Penilaian kinerja pegawai dikenal dengan istilah performance rating, performance appraisal, personnel assessment, employee evaluation, merit rating, efficiency rating, service rating.   Leon C. Megginson (1981) mengemukakan bahwa Performance Appraisal adalah suatu proses yang digunakan manajer untuk menentukan apakah seorang pegawai melakukan pekerjaannya sesuai yang dimaksudkan.  Sedangkan Andrew E. Sikula (1981) menjelaskan bahwa Employee Evaluation merupakan evaluasi yang sistematis dari pekerjaan pegawai dan potensi yang dapat dikembangkan.   Penilaian adalah proses penaksiran atau penentuan nilai, kualitas, atau status dari beberapa objek, orang ataupun sesuatu.   Dengan demikian bahwa kinerja pegawai adalah suatu proses penilaian prestasi kerja pegawai yang dilakukan pemimpin organisasi secara sistematik berdasarkan pekerjaan yang ditugaskan kepadanya (AA. Anwar Prabu M., 2000:69).

M. Manullang (1997:21) menyatakan penilaian kinerja sebagai suatu penilaian secara sistematis kepada pegawai oleh beberapa orang ahli untuk satu atau beberapa tujuan tertentu.  Sedangkan Susilo Martoyo (1995:32) mengemukakan pengertian penilaian kinerja pegawai sebagai suatu proses melalui mana organisasi-organisasi mengevaluasi kinerja pegawai.

Penilaian kinerja adalah proses evaluasi kinerja seseorang dengan tujuan untuk melihat kemampuan pegawai dalam memberikan konstribusi pada fokus strategik dari organisasi.   Penilaian prestasi kerja meliputi dimensi kinerja dan akuntabilitas pada setiap individu, unit organisasi maupun keseluruhan unit-unit yang terkait baik di dalam organisasi maupun di luar organisasi. Dimensi kinerja diantaranya prakarsa, pendidikan dan pengetahuan, kejujuran, kedisiplinan, kerjasama, kualitas, tanggung jawab dan motivasi.

Manfaat dan Tujuan Penilaian Kinerja

Manfaat penilaian kinerja dapat dilihat dari perspektif pengembangan organisasi, namun pada dasarnya sebagai umpan balik bagi organisasi untuk membuat keputusan bagi pegawainya, apakah perlu mendapat pelatihan, pendidikan, peringatan atau pemecatan.  Menurut Sjafri M. (2002:19) penilaian kinerja yang ditinjau dari perspektif manajemen sumber daya manusia adalah bermanfaat untuk perbaikan kinerja, penyesuaian kompensasi, keputusan penempatan, kebutuhan pelatihan dan pengembangan, perencanaan dan pengembangan karir, defisiensi proses penempatan staf, dan umpan balik pada sumber daya manusia.

Manfaat dari pelaksanaan penilaian kinerja yang berhasil dapat dilihat dari 3 (tiga) kelompok, yaitu :

  1. Bagi Organisasi
    1. Terjadi perbaikan kinerja disemua simpul organisasi karena komunikasi yang lebih efektif, peningkatan kebersamaan dan loyalitas, serta peningkatan kemampuan manajerial.
    2. Peningkatan segi pengawasan melekat.
    3. Kemampuan mengenali setiap yang timbul dalam kelompok untuk meningkatkan kinerja, dan perbaikan selanjutnya.
    4. Kejelasan dan ketetapan pengetahuan, keterampilan dan sikap pegawai sehingga organisasi dapat membuat rencana dari program pengembangan secara lebih tepat.
    5. Setiap kelainan dan ketidakjelasan dalam membina sistem prosedur dapat dihindarkan dan kebiasaan yang baik dapat diciptakan dan dipertahankan.
    6. Pegawai yang potensial menjadi lebih mudah terlihat, mudah diidentifikasikan, mudah dikembangkan dan memungkinkan peningkatan tanggung jawab.
    7. Keuntungan yang diperoleh instansi menjadi lebih besar, evaluasi kinerja akan menjadi berita baik bagi setiap orang dan setiap pegawai akan mendukung pelaksanaan evaluasi kinerja, mau berpartisipasi secara aktif sehingga pekerjaan selanjutnya dari evaluasi kinerja akan lebih mudah.
  1. Bagi Penilai (Manajer)
    1. Evaluasi kinerja berpeluang untuk mengembangkan sistem pengawasan, baik untuk pekerjaan manajer sendiri maupun pekerjaan pegawai bawahannya dan dari sistem manajemen perkantoran atau unit kerja produktif lainnya sehingga unit kerja dipegang oleh pegawai dengan fungsi yang jelas.
    2. Evaluasi kinerja memberi kesempatan kepada manajer untuk dapat mengidentifikasikan ide atau wawasan baru untuk perbaikan manajemen selanjutnya.
    3. Meningkatkan kepuasan kerja baik dari para manajer maupun para pelaksananya.
    4. Meningkatkan rasa harga diri yang kuat diantaranya manajer dan juga para pelakasananya karena telah berhasil mendekatkan ide dari pegawai dengan ide para manajernya.
    5. Kesempatan untuk mendekatkan atau mengurangi kesenjangan antar sasaran kelompok atau sasaran departemen / organisasi.
    6. Suatu kesempatan bagi manajer untuk menjelaskan kepada pegawai apa yag sebenarnya diinginkan oleh pihak manajemen dari para pegawai sehingga para pegawai dapat mengukur dirinya berkarya sesuai dengan harapan  (expectation) dari manajer tadi.
    7. Evaluasi kinerja juga merupakan kesempatan berharga untuk manajer agar dapat menilai kembali apa yang telah dilakukan sehingga ada kemungkinan merevisi target atau menyusun prioritas baru.
    8. Evaluasi kinerja media untuk meningkatkan interpersonal relationship atau hubungan antar pribadi antara pegawai dengan pimpinan, berdasarkan prinsip saling percaya dan saling pengertian.
  2. Bagi Pegawai
    1. Kesempatan untuk umpan balik mengenai kinerjanya. Setiap pegawai memerlukan apa yang disebut umpan balik untuk mengetahui apakah yang dikerjakannya itu sudah benar sesuai dengan ketentuan. Pegawai sendiri sering tidak dapat melihat diri sendiri secara objektif, orang lain akan melihat lebih objektif, karena sudut pandang yang berbeda. Tanpa umpan balik pegawai cenderung untuk menilai diri terlalu tinggi dan apabila ada kegiatan evaluasi kinerja maka pegawai akan merasa dikritik dianggap pekerjaanya kurang atau menyalahi ketentuan.
    2. Pekerjaan manajer memang memberikan umpan balik. Namun umpan balik dari evaluasi kinerja diberikan terstruktur dan tidak dikaitkan dengan pekerjaan yang sedang dilakukan. Teguran yang diberikan dalam kegiatan sehari-hari sangat bersifat sementara. Evaluasi kinerja bagi seorang pegawai merupakan penilaian secara keseluruhan, bukan dari kacamata insidentil dari atasan, namun merupakan gambaran keseluruhan dari suatu proses pekerjaan. Selain itu evaluasi kinerja memberikan kesempatan pengakuan secara formal dari apa yang telah dikerjakan oleh ternilai, dengan kemungkinan pengakuan pekerjaan yang terdahulunya tidak diperhatikan.
    3. Dengan adanya umpan balik yang telah didokumentasikan, pegawai merasa adanya perlindungan. Seandainya ada catatan tertulis yang menunjukan bahwa pegawai melaksanakan pekerjaan yang baik, maka atasan akan melihatnya dalam arti keseluruhan dan kekeliruan yang sifatnya insidentil, kesalahan pegawai dapat dianggap biasa dan tidak mempengaruhi secara kuat.
    4. Seandainya tidak ada sistem evaluasi kinerja, tidak berarti pegawai dievaluasi. Artinya evaluasi itu dilakukan secara diam-diam, tanpa sepengetahuan pegawai. Karena itu evaluasi kinerja yang dilakukan secara diam-diam.

Tujuan penilaian kinerja adalah untuk memperbaiki atau meningkatkan kinerja organisasi atau instansi melalui peningkatan kinerja dari pada pegawainya. Secara lebih spesifik, tujuan dari penilaian atau evaluasi kinerja sebagaimana dikemukakan oleh Agus Sunyoto (1999:1) adalah :

  1. Meningkatkan saling pengertian antar pegawai tentang persyaratan kinerja.
  2. Mencatat dan mengakui hasil kerja seorang pegawai, sehingga mereka termotivasi untuk berbuat yang lebih baik, atau sekurang-kurangnya berprestasi sama dengan prestasi yang terdahulu.
  3. Mencatat dan membuat analisis dari setiap persoalan untuk mencapai persyaratan kinerja tersebut.
  4. Memberikan peluang kepada pegawai untuk mendiskusikan keinginan dan aspirasinya dan meningkatkan kepedulian terhadap pekerjaan yang diembannya sekarang.
  5. Mendefinisikan atau merumuskan kembali sasaran masa depan, sehingga pegawai termotivasi untuk berprestasi sesuai dengan potensinya.
  6. Memeriksa secara pelaksanaan dan pengembangan yang sesuai dengan kebutuhan pelatihan, khusus rencana diklat, dan kemudian menyetujui rencana itu jika tidak ada hal-hal yang perlu diubah.

Sasaran Penilaian Kinerja

Setiap pegawai dikatakan dapat melakukan tugas dengan efektif dan efisien apabila mereka mengetahui apa yang harus dikerjakan, mengetahui mutu yang disyaratkan dalam mengerjakan pekerjaan tersebut, dan mengetahui sejauh mana tingkat kualitas pekerjaan yang diharapkan oleh pimpinan dapat dilakukan oleh pegawai.  Untuk memenuhi ketiga kriteria tersebut, setiap pegawai hendaknya dapat mengemukakan pandangannya mengenai ketiga kriteria sasaran tersebut, dan pimpinan dapat memperhatikan kemampuan, keinginan, dan potensi  dari pegawai ke dalam proses perencanaan, sehingga dapat melakukan penyesuaian-penyesuaian.    Sasaran dari penilaian kinerja dikemukakan oleh Agus Sunyoto (1999:2) ada empat, yaitu:

  1. Membuat analisis kinerja dari waktu yang lalu secara berkesinambungan dan periodeik baik itu kinerja pegawai, pimpinan, dan organisasi atau organisasi atau instansi.
  2. Membuat evaluasi kebutuhan pelatihan dari para pegawai melalui audit keterampilan dan pengetahuan sehingga dapat mengembangkan kemampuan dirinya, dan atas dasar penilaian atau evaluasi kebutuhan pelatihan itu dapat menyelenggarakan program pelatihan dengan tepat.
  3. Menentukan sasaran dari kinerja yang akan datang dan memberikan tanggung jawab perorangan dan kelompok sehingga untuk periode selanjutnya jelas apa yang harus diperbuat oleh pegawai, mutu yang harus dicapai, sarana dan prasarana yang diperlukan untuk meningkatkan kinerja pegawai.
  4. Menempatkan potensi pegawai yang berhak memperoleh promosi, dan kalau perlu berdasarkan hasil diskusi antara pegawai dengan pimpinannya itu untuk menyusun suatu proposal mengenai sistem bijak (merit system) dan system promosi lainnya seperti imbalan (reward system recommendation)

Keempat sasaran itu semuanya positif, tidak ada satupun yang bernada menyudutkan pegawai dan yang akan mengurangi tingkat fasilitas yang sudah diperoleh pegawai. Namun tentu berakibat kurang memuaskan bagi mereka jika ternyata dalam evaluasi itu terdapat kekurangan-kekurangan yang perlu diperbaiki yang sumbernya berasal dari pegawai.   Jika itu terjadi tingkat produktivitas yang tidak sesuai dengan harapan dan perhitungan, dan penyebabnya adalah kurangnya kemampuan dan keterampilan karyawan. Menyikapi hal tersebut diperlukanlah pendidikan dan pelatihan. Karena itu pendapat mengenai perlu atau tidaknya dilaksanakan penilaian kinerja terbagi dua, ada yang setuju dan ada yang tidak setuju.

Mereka yang kurang setuju dengan penilaian kinerja menyatakan bahwa penilaian kinerja semata-mata suatu upaya organisasi atau instansi untuk mencari kambing hitam diantara para pegawai agar ada dasar yang kuat untuk bertindak secara administratif kepada pegawai yang bersalah.   Pihak lain beranggapan bahwa evaluasi kinerja merupakan sarana untuk menegur mereka yang tidak melakukan pekerjaannya dengan baik di dalam organisasi atau instansi. Banyak organisasi atau instansi berusaha mencapai sasaran suatu kedudukan yang pertama, yang terbaik dan terpercaya dalam bidangnya.

Untuk itu sangat tergantung dari pada pelaksanannya yaitu para pegawai agar mereka mencapai sasaran yang telah ditetapkan oleh organisasi atau instansi dalam corporate planingnya. Untuk itu pula perhatian hendaknya ditujukan kepada kinerja, suatu konsepsi atau wawasan bagaimana kita bekerja agar mencapai yang terbaik, dan ini berarti bahwa kita harus dapat memimpin orang-orang.

Kegiatan memimpin dan membina orang itu sama pentingnya dan sama berharganya dengan kegiatan organisasi atau instansi. Jadi fokusnya adalah bagaimana usaha untuk selalu memperbaiki dan meningkatkan kinerja dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari.  Untuk mencapai itu perlu dirubah cara bekerjasama, dan bagaimana melihat atau meninjau kinerja itu sendiri. Jadi pimpinan dan juga mereka yang bertanggung jawab langsung dalam pelaksanaan penilaian kinerja harus pula dinilai secara periodik (Agus Sunyoto, 1999:3).

 

Prinsip Dasar Penilaian Kinerja

Secara singkat dapat disimpulkan bahwa prinsip dasar dari penilaian kinerja adalah :

1.         Fokusnya adalah membina kekuatan untuk menyelesaikan setiap persoalan yang timbul dalam pelaksanaan penilaian kinerja. Jadi bukan semata-mata menyelesaikan persoalan itu sendiri, namun pimpinan dan pegawai mampu menyelesaikan persoalannya sendiri dengan baik setiap saat, setiap ada persoalan baru. Jadi yang penting adalah kemampuannya.

  1. Selalu didasarkan atas suatu pertemuan, misalnya dari hasil diskusi antara pegawai dengan penyelesaian langsung, suatu diskusi yang konstruktif untuk mencari jalan yang terbaik dalam meningkatkan mutu dan baku yang tinggi.
  2. Suatu proses manajemen yang dialami, jangan merasa dan menimbulkan kesan terpaksa, namun dimasukan secara sadar kedalam corporate planning, dilakukan secara periodik, terarah dan terprogram, bukan yang cuma setahun sekali atau kegiatan yang dilakukan jika manajer ingat saja.

Aspek-aspek yang harus diperhatikan oleh penilai kinerja pegawai adalah (Andrew E. Sikula dalam AA. Anwar Prabu M. (2000:74) :

1.         Hallo Effect, penilaian yang subjektif diberikan kepada pegawai, baik yang bersifat negatif maupun positif yang berlebihan dilihatnya dari penampilan pegawai.

2.         Liniency, penilaian kerja yang cenderung memberikan nilai yang terlalu tinggi dari yang seharusnya.

3.         Strickness, penilaian kinerja yang memiliki kecenderungan memberikan nilai yang terlalu rendah dari yang seharusnya.

4.         Central Tendency, penilaian yang cenderung memberikan nilai rata-rata (sedang).

5.         Personal Biases, penilaian kinerja memberikan nilai yang baik kepada pegawai senior, lebih tua usia, atau yang berasal dari suku bangsa yang sama.

Pengukuran Kinerja

Pengukuran kerja merupakan alat bagi manajemen yang berbasis kinerja yang digunakan sebagai dasar untuk melakukan penilaian kinerja, yaitu untuk menilai sukses atau tidaknya suatu organisasi, program, atau kegiatan.    Pengukuran kinerja didefinisikan oleh Robertson (2002) yang dikutip kembali oleh Mahmudi (2005:7) adalah suatu proses penilaian kemajuan pekerjaan terhadap pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditentukan, termasuk informasi atas efisiensi penggunaan sumber daya dalam menghasilkan barang dan jasa, kualitas barang dan jasa, perbandingan hasil kegiatan dengan target, dan efektivitas tindakan dalam mencapai tujuan.  Sehingga bagi para top manajemen adalah sangat penting untuk menentukan apakah tujuan pengukuran kinerja adalah untuk menilai hasil kerja (performance outcome) ataukah menilai perilaku pegawai (personality).

Hasil pengukuran kinerja merupakan wujud akuntabilitas para pejabat atau manajer atas kinerja mereka dalam melaksanakan apa yang menjadi tugas pokok, fungsi, kewenangan dan tanggung jawabnya.  Pengukuran kinerja juga untuk melihat tingkat kegagalan dan keberhasilan organisasinya dalam melaksanakan kebijakan, program, dan kegiatan yang telah ditetapkan dalam rencana strategis (renstra).   Pengukuran kinerja adalah menjadi suatu keharusan bagi setiap unit organisasi, karena :

a.         Jika kinerja tidak diukur, maka tidak mudah membedakan antara keberhasilan dengan kegagalan.

b.         Jika suatu keberhasilan tidak diidentifikasi, maka kita tidak dapat menghargainya.

c.         Jika keberhasilan tidak dihargai, kemungkinan besar malahan menghargai kegagalan.

d.         Jika tidak mengenali keberhasilan, berarti juga tidak akan belajar dari kegagalan.

Mengingat arti pentingnya pengukuran kinerja, maka kiranya perlu dilakukan kegiatan untuk meningkatkan kemampuan setiap personel dalam melakukan pengukuran kinerja unit organisasi atau instansinya.

Ruang Lingkup Pengukuran Kinerja

Andrew E. Sikula (1981) yang dikutip AA. Anwar Prabu M. (2000:73-74) mengemukakan bahwa ruang lingkup pengukuran kinerja berumuskan 5W+1H, yaitu :

1.         Who (siapa), pertanyaan ini mencakup siapa yang harus diniliai dan siapa yang harus menilai.

2.         What (apa), pertanyaan ini mencakup objek/materi yang dinilai (hasil kerja, kemampuan, sikap, kepemimpinan, dan motivasi) dan dimensi waktu (kemampuan saat ini dan potensi yang akan datang).

3.         Why (mengapa), pertanyaan ini diupayakan mampu menjawab tujuan dari pengukuran kinerja, seperti untuk memelihara potensi kerja, menentukan kebutuhan pelatihan, dasar pengembangan karier, maupun dasar promosi jabatan.

4.         When (bilamana), pertanyaan ini mencakup kapan pengukuran harus dilakukan, apakah secara formal (periodik) ataukah secara informal (terus menerus).

5.         Where (dimana), pertanyaan ini mencakup apakah penilaian harus dilakukan di tempat kerja atau diluar tempat kerja (memalui jasa konsultan).

6.         How (bagaimana), pertanyaan ini mencakup apakah penilaian harus dilakukan dengan metode tradisional (rating scale, employee comparison), ataukah metode modern (management by objective, assessment centre).

Indikator Kinerja

Indikator kinerja merupakan ukuran kuantitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran dan tujuan organisasi.  Indikator kinerja diartikan sebagai ukuran keberhasilan dari suatu tujuan dan sasaran organisasi.   Indikator kinerja juga dapat dijadikan patokan (standar) menilai keberhasilan atau kegagalan penyelenggaraan pemerintahan dalam mencapai misi dan visi organisasi.  Sedangkan kinerja pegawai, erat kaitannya dengan cara mengadakan penilaian terhadap pekerjaan seseorang  sehingga perlu ditetapkan standar kinerja atau performance standard.  T.R. Mitchell (1978) yang dikutip Sedarmayanti (2001:51) menyebutkan lima (5) aspek yang dijadikan indikator atau ukuran dalam mengadakan pengkajian tingkat kinerja seseorang, adalah  :

a.         Quality of work, yang terdiri dari komponen mutu hasil pekerjaan dan sikap dalam bekerja.

b.         Promptness, yang terdiri dari komponen tingkat kehadiran dan pemanfaatan waktu luang.

c.         Initiative, yang terdiri dari komponen tingkat inisiatif dan tanggung jawab terhadap pekerjaan.

d.         Capability, yang terdiri dari komponen kehandalan dalam menyelesaikan tugas dan pengetahuan tentang pekerjaan.

e.         Communication, yang terdiri dari komponen kejujuran dalam menyampaikan pendapat dan kerjasama dalam menyelesaikan pekerjaan.

Sedangkan menurut Higgins yang dikutip Husein Umar (2000:266) variabel kinerja terdiri atas sepuluh komponen, yaitu mutu pekerjaan, kejujuran pegawai, inisiatif, kehadiran, sikap, kerjasama, keandalan, pengetahuan tentang pekerjaan, tanggung jawab, dan pemanfaatan waktu.

Dilakukannya penilaian kinerja disebabkan adanya kaitan tujuan dari organisasi dalam suatu sistem organisasi. Tujuan utama dari sistem perilaku organisasi adalah untuk mengidentifikasikan peubah manusia dan peubah organisasi. Beberapa dari variabel tersebut hanya dapat dikenali melalui dampaknya, sedangkan beberapa yang lainnya dapat dikendalikan.  Hasilnya dari proses manipulasi peubah tersebut dapat diukur dalam berbagai bentuk berdasarkan kriteria di bawah ini, yaitu :

  1. Kinerja.   Prestasi kerja terdiri dari kualitas, kuantitas produk, pelayanan dan tingkat pelayanan pelanggan.
  2. Kepuasan kerja.  Kepuasan kerja sering kali melalui rendahnya tingkat kemangkiran, kemalasan dan tidak di tempat, tidak melaksanakan tugas dan keluar dari lingkungan kerja.

Penilaian yang dilakukan oleh Robbin P. Stepen (1997 : 46) yang membagi dalam tiga kriteria yaitu :

1)                  Hasil dari tugas yang meliputi kuantitas produksi, sisa produksi dan biaya produksi.

2)                  Perilaku yang meliputi ketepatan waktu pemberian laporan bulanan pegawai, atau penilaian pegawai terhadap gaya kepemimpinan yang ditampilkan oleh pimpinan.

3)                  Karakter yang meliputi sikap yang baik, memperlihatkan percaya diri, mandiri atau dapat bekerja sama, selalu sibuk atau punya pengalaman yang kaya.

Untuk mengetahui peningkatan atau penurunan maka penilaian/evaluasi kinerja merupakan suatu keharusan yang harus dilaksanakan. Hasil dari evaluasi kinerja dapat dijadikan pertimbangan untuk melakukan perbaikan dalam meningkatkan kinerja pegawai di masa yang akan datang.

Evaluasi Hasil penilaian Kinerja

Evaluasi hasil penilaian kinerja bertujuan untuk :

1.         Mengetahui tingkat keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kegiatan dan pencapaian sasaran dan tujuan.

2.         Mengetahui faktor apa yang mempengaruhi tingkat keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kegiatan dan pencapaian sasaran dan tujuan.

3.         Mengetahui kendala apa yang ditemukan dalam pelaksanaan kegiatan dan pencapaian sasaran dan tujuan, sekaligus solusi apa yang perlu dilakukan untuk mengatasi masalah dan kendala yang ditemukan.

4.         Mengetahui tingkat efisiensi dan efektivitas pelaksanaan kegiatan dan pencapaian sasaran dan tujuan untuk melaksanakan dan mewujudkan misi organisasi.

Evaluasi hasil penilaian kinerja dalam manajemen strategis diarahkan pada :

1.         Evaluasi pencapaian indikator kinerja kegiatan, berisi analisis atau penjelasan tingkat keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan suatu kegiatan.

2.         Evaluasi tingkat efisiensi, berisi analisis tingkat efisiensi yang dicapai dengan cara membandingkan antara masukan dengan keluaran.

3.         Evaluasi tingkat efektivitas, menjelaskan tingkat kesesuaian capaian tujuan dan sasaran dengan hasil, manfaat, dan dampak.

4.         Evaluasi kinerja nyata tahun ini dengan tahun sebelumnya, menggambarkan perkembangan atau kemajuan yang dicapai dari pelaksanaan kegiatan.

5.         Evaluasi tingkat pencapaian tujuan dan sasaran, berisi analisis atau menjelaskan tentang pencapaian kinerja kegiatan dengan pencapaian kinerja sasaran dan tujuan organisasi.

Meningkatkan Kinerja Pegawai.

1.         Menjaga dan Mendorong Motivasi Pegawai.

Richard S. Sloma dalam bukunya How to Measure Managerial Performance yang dikutip Joko Widodo (2000:81-84) menyebutkan bahwa untuk menjaga dan mendorong motivasi pegawai, perlu dilakukan sebagai berikut :

a.         Set goal and performance criteria, dimana manajer harus menentukan apa yang menjadi tujuan dan apa yang hendak dicapai organisasi dan ditentukan pula kriteria kinerjanya.  Hal inilah yang dapat digunakan sebagaai acuan, referensi, dan pedoman para pegawai sebagai pelaku organisasi sehingga mereka mengetahui apa yang harus dipersiapkan dan apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut.

b.         Provide Insentives, so that Subordinate want to reach goal and meet performance criteria, dimana manajer harus mampu menyediakan insentif (pendorong kerja) baik berupa gaji, komisi, penghargaan, atau dalam bentuk lain agar subordinate (dan para pegawai) bersedia mencapai tujuan organisasi melalui aktivitas yang responsible, accountable, dan responsiveness sesuai dengan criteria yang ditetapkan.

c.         Give regular objective feedback so that people know where the stand in the work, dimana manajer harus memberikan umpan balik secara rutin agar para pegawai dapat mengetahui bagaimana posisi dan peran yang dimainkan (dapat digunakan sebagai self introspection) dalam pelaksanaan pencapaian tujuan.  Kondisi demikian akan dimanfaatkan para pegawai untuk mempersiapkan apa yang harus dilakukannya pada masa mendatang.

d.         Use techniques of participate management where by employees participate when it is appropriate in decisions which affect them and their work.  Manager harus menerapkan manajemen partisipatif, yakni para pegawai diikutsertakan dalam pengambilan keputusan tertentu agar mereka dapat melakukan pekerjaan dengan lebih baik.   Manajemen partisipatif inilah yang lebih dikenal dengan Total Quality Management (TQM), dimana merupakan suatu cara untuk mencapai kualitas pelayanan total dengan cara melibatkan semua pihak di dalam organisasi.

e.         Hold regularly, two way communicative meeting with subordinate, dimana manajer harus menyelenggarakan komunikasi dua arah secara rutin dalam setiap pertemuan dengan bawahan.  Baik pimpinan maupun bawahan harus sama-sama membuka diri untuk menerima argumentasi dalam memecahkan suatu masalah atau dalam membuat suatu keputusan.  Komunikasi dua arah disamping dapat memecahkan masalah dan keputusan tepat dapat diambil, juga keduanya dapat dilaksanakan dan didukung oleh semua pihak.

2.         Peningkatan Kualitas Pegawai.

Pegawai dikatakan berkualitas, jika mereka mempunyai kemampuan untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.  Disamping kemampuan ( berkaitan dengan ilmu pengetahuan, pengalaman dan keterampilan), akan lebih efektif apabila disertai kemauan (berkaitan dengan motivasi, komitmen, dan keyakinan diri) yang bersangkutan.  Kemampuan para pegawai dapat dilaksanakan dengan :

a.         Melalui pendidikan, baik jenjang formal (S1, S2, S3) maupun pengembangan (Adum, Sepama, Sepamen, dan Sepati yang sekarang menjadi Diklatpim IV, III, II, I).

b.         Melalui pelatihan, kursus, seminar, diskusi, dan sejenisnya, baik yang diselenggarakan sendiri maupun diselenggarakan oleh lembaga lain bisa publik maupun bisnis.

c.         Melalui pengalaman, dengan  melakukan tour of duty dalam menjalan-kan tugas, wewenang, dan tanggung jawab agar mempunyai motivasi yang tinggi dengan suasana baru.

d.         Revitalisasi, dimana pimpinan dan para pegawainya harus mengubah posisi dan peran dalam memberikan pelayanan.  Hal ini dikarenakan kondisi masyarakat yang telah mengalami perkembangan yang sangat dinamis, dengan tingkat kehidupan yang semakin baik.

Penutup

Pengertian kinerja sebagaimana telah digambarkan diatas, pada hakekatnya berkaitan dengan tanggung jawab individu atau organisasi dalam menjalankan apa yang menjadi wewenang dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.  Kinerja individu atau perorangan (individual performance) dan organisasi (organizational performance) memiliki keterkaitan yang sangat erat.  Tercapainya tujuan organisasi tidak bisa dilepaskan dari sumber daya (termasuk sekelompok orang) yang berperan aktif, sementara individu atau sekelompok orang dapat menjalankan tugas, wewenang, dan tanggung jawab dengan baik, sangat tergantung kepada struktur dan sumber daya yang lain yang dimiliki organisasi.  Dengan demikian, kinerja organisasi salah satunya ditentukan oleh kinerja individu sebagai pelaku organisasi, sedangkan kinerja individu sebagai pelaku organisasi juga ditentukan oleh struktur dan sumber daya yang dimiliki organisasi.

Daftar Pustaka :       

 AA. Anwar Prabu Mangkunegara : Manajemen Sumberdaya Manusia Perusahaan.  Penerbit PT. Remaja Rosdakarya. Bandung, 2000.

AA. Nyoman Sukawati :  Kinerja Karyawan. Parameter UNJ nomor 14 Tahun XIX. Jakarta, 2002.

Achmad. S Ruky : Sistem Manajemen Kinerja. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002.

Agus Dharma : Manajemen Prestasi Kerja. Penerbit CV. Rajawali, Jakarta, 1996.

Agus Sunyoto :  Manajemen Sumberdaya Manusia.  Modul Program Pasca Sarjana STIE IPWI. Jakarta, 1999.

Bambang Kusriyanto : Meningkatkan Produktivitas Karyawan, cetakan ke-4, Penerbit PT. Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta, 1999.

Edwin B Filipo:  Manajemen Personalia. Penerbit Erlangga, Jakarta, 1997.

Faustino Cardoso Gomes :  Manajemen Sumberdaya Manusia. Andi Offset, Yogyakarta, 1995.

Gouzali Saydam :  Manajemen Sumberdaya Manusia.  Jilid I, Penerbit Gunung Agung Jakarta, 1996.

Heidjrachman Ranunpandojo dan Suad Husnan “Manajemen Personalia”. Penerbit BPFE UGM, Yogyakarta, 1995.

Henry Simamora : Manajemen Sumber Daya Manusia.  Penerbit STIE YKPN, Yogyakarta, 1995.

Husein Umar :  Riset Sumber Daya Manusia Dalam Organisasi.  Cetakan ketiga, Penerbit PT. Gramedia. Jakarta, 2000.

Husein Umar : Sumber Daya Manusia Dalam Organisasi.  Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000.

Joko Widodo :  Membangun Birokrasi Berbasis Kinerja.  Edisi Pertama. Bayumedia. Malang, 2005.

J.P.G. Sianipar : Perencanaan Peningkatan Kinerja.  Lembaga Administrasi Negara, Jakarta, 2000

Mahmudi :  Manajemen Kinerja Sektor Publik. UPP-AMP YKPM. Yogyakarta, 2005.

Malayu S.P Hasibuan : Manajemen Sumber Daya Manusia.  Penerbit CV. H.Masagung, Jakarta, 1996.

M. Manullang :  Management Personalia.  Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 1997.

Moekijat :  Manajemen Kepegawaian.  Alumni Bandung, 1995.

Republik Indonesia :  Undang-Undang nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenaga-kerjaan.

Soesilo Mattoyo :  Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi Ke III. Penerbit BPFE Yogyakarta, 1996.

Soewarno Handayaningrat :  Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Manajemen. Cetakan Kesembilan. Jakarta, 1989.

Sondang P. Siagian :  Manajemen Sumberdaya Manusia. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta, 1994.

T. Hani Handoko :  Manajemen. Edisi 2 Cetakan Keenambelas, BPFE-UGM. Yogyakarta, 2000.